Pop Culture; Parasit Dalam Tubuh Pendidikan Indonesia

Isu perubahan iklim dan global warming memang kerap menjadi topik langganan media massa akhir akhir ini, hal itu membuat perhatian masyarakat banyak tertuju pada konfrensi Internasional di Bali yang dimaksudkan sebagai batu loncatan untuk menggantikan protokol kyoto, belum lagi isu mengenai ulah baru yang diperbuat oleh negara tetangga Malaysia, yang mengklaim lagu “rasa sayange” dan reok sebagai budaya milik mereka. Wacana publik seperti itu tentu menyita perhatian bangsa Indonesia, namun jangan sampai hal tersebut membuat kita mengabaikan hal-hal lain. Masih banyak PR yang harus diselesaikan oleh pemerintah untuk membuat Indonesia jadi lebih baik.

Mungkin semua kita sepakat bahwa salah satu aspek yang harus dibenahi adalah pendidikan, karena melalui pendidikanlah seseorang itu bisa terbebaskan dari belenggu kebodohan dan bergerak bebas menciptakan pengetahuan dan teknologi yang baru. Oleh karena itu, dengan peran dan fungsi yang sangat penting yang dimiliki oleh pendidikan, maka pembenahan yang dilakukan harus bersifat komprehensif, menyentuh segala aspek baik di dalam lingkungan internal pendidikan seperti: kurikulum, kualitas sekolah dari segi infrastruktur dengan segala sarana dan prasarana penunjang hingga keunggulan dalam hal akademis, kualitas guru yang telah memenuhi sertifikasi, dan daya saing siswa. Selain itu, perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal perlu juga diperhatikan, salah satunya masalah budaya dan kebiasaan masyarakat.

Jika bicara mengenai budaya, hasil cipta, karsa, dan karya manusia yang dideskripsikan melalui ritualisme, simbol-simbol, lagu-lagu, tari-tarian dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu yang menghasilkan suatu nilai atau value yang dipatuhi dan dianut oleh suatu kelompok manusia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai budaya yang sangat khas dan sangat beragam. Namun, budaya yang beragam tersebut berangsur-angsur menghilang, setelah invansi yang dilakukan oleh budaya asing, berhasil mendistorsi kebudayaan indonesia, sehingga bangsa Indonesia kehilangan identitas aslinya. Jadi, tidak heran lagi jika Malaysia begitu mudah mengklaim apa yang sebenarnya merupakan bagian dari kita menjadi hak miliknya. Budaya asing memulai penyebaran pengaruhnya melalui teknologi, seperti: internet, televisi, dan handphone, atau melalui media massa dan saran publikasi lainnya. Bahkan, kalangan akademisi telah mengkategorikan situasi kita dalam keadaan rawan, dimana suatu produk dari budaya asing telah menggerogoti semua sistem kehidupan bangsa Indonesia, produk tersebut bernama pop culture.

Pop culture, sebuah budaya yang mengindikasikan kecenderungan kepada hal-hal yang bersifat instan, tidak ada lagi etos kerja atau ikhtiar dalam memperoleh sesuatu yang diinginkan. Penyakit ini, telah menyerang bangsa Indonesia, kita bisa perhatikan gejala tersebut mulai dari kota-kota besar, hingga ke pelosok daerah, pop culture telah menunjukkan tajinya. Pop culture dalam menjalankan misinya, kebanyakan menjadikan media hiburan seperti televisi sebagai sarana publikasinya. Televisi yang sarat dengan unsur hiburannya dari pada pendidikannya menampilkan acara yang mempermudah jalan masuk bagi pop culture. Acara-acara kuis yang dalam waktu singkat bisa menghasilkan duit jutaan hingga milyaran rupiah, ajang kontes musik yang dalam waktu singkat bisa menghasilkan seorang bintang, atau bintang sinetron miskin kualitas yang bermodalkan tampang bisa mendapatkan kekayaan melimpah ruah. Budaya seperti ini mulai masuk ke tiap-tiap sistem yang ada dalam kehidupan, tak terkecuali di dalam sistem pendidikan. Pada sistem politik; kita bisa melihat banyak politisi busuk yang melakukan money politics untuk mendapatkan kekuasaan, sistem birokrasi; untuk jadi PNS, orang hanya cukup dengan mengeluarkan uang puluhan juta rupiah bisa masuk suatu dinas atau departemen, sistem sosial kemasyarakatan; mendapatkan simpati dari masyarakat dengan menggunakan harta kekayaan sebagai media, dan pada sistem pendidikan; kita bisa melihat bagaimana fenomena ujian nasional yang kerap diwarnai oleh kecurangan sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, dan siswa, yang semuanya dilakukan semata-mata demi mengharapkan hasil yang maksimal, namun dengan jalan pintas dan cara yang instan.

Jika melihat realitas yang ada saat ini, mungkin Indonesia sudah naik tingkat dari keadaan rawan menjadi kronis, karena sekujur darah ditubuhnya telah dihisap oleh parasit (budaya asing/pop culture) yang mengalahkan imun dan kekebalan tubuh (budaya nasional). Pendidikan yang memegang peran sentral sudah mulai lumpuh, begitu juga dengan fungsi-fungsi yang lain. Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang, tidak adakah hal yang bisa dilakukan untuk mengembalikan Indonesia kembali seperti semula?

Keadaan yang sudah terlanjur terjadi, untuk kembali seperti semula memang agak sulit dan memerlukan waktu yang lama. Namun, hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang mustahil, asalkan ada politically will dari pemerintah dan keinginan yang kuat dari masyarakat untuk berubah. Semua unsur dan pihak harus ikut berperan aktif dan bekerjasama melenyapkan pop culture. Mulai dari politisi, birokrat, pegawai, guru, swasta, mahasiswa, pemuda, hingga masyarakat harus berusaha mengembalikan identitas bangsa ini kembali ke jati diri yang sesungguhnya. Politisi; mengeluarkan peraturan dan kebijakan yang memperhatikan budaya nasional, misalnya; undang-undang mengenai pertelevisian, media, dan pers, yang pro pada pelestarian budaya nasional. Birokrat; menigkatkan kampanye kebudayaan nasional melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.Swaata, misalnya pihak televisi; menayangkan program-program yang mendidik dan selaras dengan norma-norma dan budaya yang dianut bangsa Indonesia. Pendidikan, yang mencakup (Depdiknas, sekolah,dan perguruan tinggi); membuat program dan metode pengajaran yang membuat siswa maupun mahasiswa terbiasa dan menyatu dengan kebudayaan asli mereka, (guru dan dosen); mengenalkan dan mengarahkan siswa dan mahasiswanya pada kebudayaan nasional, (siswa dan mahasiswa); mempelajari kebudayaan nasional dengan sungguh-sungguh dan ikut berperan aktif dalam melestarikan kebudayaan nasional.

Kita harus menyadari betapa bobroknya kondisi bangsa Indonesia saat ini, hampir di semua sektor kita tertinggal dari bangsa lain, terutama dunia pendidikan, ditambah lagi setelah pop culture dan segala budaya asing telah serta merta hidup dan menjadi parasit di dalamnya, yang bisa merusak jati diri dan moral anak bangsa. Untuk itu, kita harus bangkit dan kembali menemukan jati diri kita dengan belajar untuk mengenal budaya nasional, menyaring budaya asing yang masuk, mengetahui dan memanfaatkan paradoks teknologi dengan baik, dan menanamkan kebanggaan terhadap budaya nasional dalam diri masing-masing. Mudah-mudahan dengan upaya kita untuk memberantas pop culture dan menemukan identitas kita yang sebenarnya, bisa membuat pengaruh budaya yang berasal dari lingkungan eksternal, bisa berubah dari yang negatif menjadi positif terhadap sistem pendidikan, bisa berubah dari pop culture dan budaya instan menjadi national culture dan budaya etos kerja, dan dengan perubahan tersebut bisa membuat pendidikan Indonesia menjadi lebih baik dan pada akhirnya juga diharapkan akan berimbas pada perbaikan sektor dan sistem yang lain.

Rendi Pratama
"Proses terkadang lebih berharga dari pada hasil"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Primordialisme dan Nasionalisme

Revolusi VS Reformasi

Peluang di Tengah Ketidakpastian