Antara Primordialisme dan Nasionalisme
Sekarang Indonesia telah 63 tahun merdeka dan telah banyak mengalami perkembangan melalui dinamika dalam pembangunan politik, ekonomi, hukum, budaya, dan bidang-bidang lainnya. Salah satu yang fenomenal adalah saat ini Indonesia sedang berada dalam rezim reformasi dimana demokrasi dan otonomi daerah menjadi alat bangsa ini untuk mencapai tujuan seperti yang diamanatkan dalam preambule/pembukaan UUD 1945 dan pancasila. Namun, pola tersebut mendapat ujian ketika berbagai gerakan separatis dari berbagai daerah dan kelompok bermunculan seperti GAM, OPM, RMS, dan beberapa daerah yang ingin memerdekakan diri dari Indonesia menyusul Timor Timur. Sebenarnya ini bukan hal baru bagi bangsa kita karena zaman dahulu ada gerakan yang mirip dengan gerakan di atas seperti PRRI di Sumatera, yang disebabkan oleh konflik antara pusat dan daerah. Ada gerakan yang sudah dijinakkan seperti GAM, melalui MOU Helsinki dan otonomi khusus untuk Aceh. Namun, itupun masih belum menjamin apakah gerakan menuntut kemerdekaan akan reda. Begitu juga dengan RMS dan OPM yang sampai saat ini, masih berupaya mencapai keinginannya untuk merdeka.
Apa gerangan dengan persatuan Indonesia? Apakah demokrasi kita dan otonomi yang disertai pemberian dan pelimpahan wewenang belum cukup untuk membuat daerah-daerah ini nyaman dalam NKRI. Apakah perlu NKRI berubah jadi federal? Argumenpun bermunculan ketika permasalahan ini menjadi headline di media massa. Ada yang berpendapat federal isme terlalu radikal dan NKRI sudah final dan ada yang berpendapat permasalahannya bukan pada federal ataupun NKRI tetapi pada kuatnya primordialisme dari pada nasionalisme. Apakah ini benar adanya? Apakah benar antara primordialisme dan nasionalisme adalah dua hal yang kontradiksi? Tulisan ini akan fokus terhadap pembahasan kedua isme ini.
Primordialisme
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Primordialisme"
Primordialisme adalah suatu pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Secara etimologis, primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.
Budaya, daerah, dan kesukuan adalah suatu entitas yang tidak bisa dilepaskan dari seseorang individu dan merupakan ikatan pertama yang dilalui oleh individu ketika dia hidup bersosialisasi di tengah masyarakat. Inilah yang kemudian menyebabkan terminologi primordialisme langsung dikaitkan dengan hubungan emosiional individu dengan budaya dan daerah dimana individu itu berasal. Seperti yang dijelaskan bahwa sejatinya primordialisme ini mempunyai tujuan yang baik yakni melestarikan budaya, dengan menanamkan nilai-nilai dan norma yang dianut ke dalam diri individu. Namun, dalam kondisi tertentu, apabila kadarnya terlalu berlebihan bisa menimbulkan sikap etnosentrisme yang cenderung subjektif dan memandang rendah budaya orang lain.
Sebenarnya primordialisme ini adalah suatu hal yang paradoks. Oleh karena itu, diperlukan adanya sebuah manajemen nilai dalam diri individu agar bisa membentuk pola berfikir yang lebih moderat dalam memposisikan nilai-nilai budayanya, sehingga fanatisme budaya dan egoisme kultural bisa ditekan dan diminimalisir dalam diri seorang individu. Dengan manajemen nilai, berarti segala nilai-nilai budaya yang masuk, proses internalisasinya bisa diatur pergerakannya agar bisa fleksibel, dalam arti ketika nilai-nilai itu mulai mendarah daging, individu harus mengatrolnya agar tidak masuk lebih dalam lagi. Langkah kongkretnya bisa dilakukan dengan mulai bergaul dengan orang yang latar belakang budaya berbeda, mempelajari budaya orang lain, menghargai adanya perbedaan, dll. Sebaliknya ketika, nilai-nilai budaya mulai hilang karena pengaruh budaya lain/asing yang masuk ke dalam diri seorang individu, proses internalisasi mulai ditumbuhkan kembali agar seorang individu tidak menjadi kacang yang lupa dengan kulitnya. Langkah kongkretnya bisa dilakukan dengan berkumpul dengan orang sekampung, melestarikan adat dan tradisi, melaksanakan nilai-nilai dan norma yang telah dianut.
Jadi, dengan manajemen nilai individu bisa menempatkan posisi “cintanya” pada budaya sesuai dengan konteksnya dan menghargai adanya perbedaan.
Nasionalisme
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/nasionalisme"
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri.
Beberapa bentuk nasionalisme
Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.
Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudulk Du Contract Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia "Mengenai Kontrak Sosial").
Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat").
Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semulajadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRC karena pemerintahan RRT berpaham komunisme.
Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Spanyol, serta sikap 'Jacobin' terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika. Secara sistematis, bila mana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di Sepanyol dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan, dan Corsica.
Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu. Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kelompok tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham yang bersangkut paut dengan Irlandia sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia. Justru itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan.
Indonesia adalah negara yang sangat heterogen. Beragam agama, adat istiadat, suku bangsa, ras, warna kulit, dan bahasa hidup dan berkembang di negara ini. Dari kondisi heterogenitas, terdapat dua kemungkinan, yaitu persatuan dan tidak jarang muncul pertentangan dan konflik. Konflik horizontal antar agama, suku, dan daerah kerap kali mewarnai bahtera rumah tangga Republik Indonesia. Bahkan tak jarang, ada daerah dan etnis yang ingin keluar dan merdeka dari Republik ini. Ada apa gerangan? Mengapa Indonesia sulit sekali untuk Bersatu (bukan bersatu dalam arti kenegaraan, tetapi lebih kepada bersatu dalam arti sebuah bangsa)?
Salah satu jawabannya adalah kurangnya rasa nasionalisme sebagai perekat bangsa. Visi misi, simbol, dan doktrin bangsa yang tertuang di dalam pembukaan UUD, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda, dan Garuda Pancasila adalah instrument untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, rasa memiliki terhadap bangsa dan perasaan persamaan identitas yang timbul secara alami, meskipun diawali oleh sebuah perbedaan. Melihat karakteristik Indonesia, bentuk nasionalisme Indonesia lebih kepada Nasionalisme Romantik, yang tidak berdasarkan etnis, budaya, kewarganegaraan, dan struktural kenegaraan semata tetapi lebih kepada integrasi kesemuanya itu yang diperoleh secara alami menuju romantisme sebagai sebuah bangsa, dimana rasa persamaan identitas lebih dominan.
Jadi, jelas bahwa hubungan antara Primordialisme dan Nasionalisme tidak saling bertentangan, yang merusak adalah etnosentrisme yang bisa merusak persatuan dan keutuhan bangsa. Namun, hal itu bisa diatasi dengan Manajemen Nilai yang ditanamkan dalam setiap diri individu, maupun organisasi dan kelompok primordial agar tidak mengarah kepada etnosentrisme, sehinga merusak nasionalisme dan persatuan bangsa.
Komentar