Sekali Merdeka, Merdeka Sekali
Sepuluh tahun rezim reformasi berjalan, satu abad kebangkitan nasional, dan kembalinya memorian bangsa terhadap lahirnya pancasila adalah momen-momen penting yang di alami oleh rakyat Indonesia saat sekarang ini. Namun, realita yang terjadi adalah keterpurukan, kebobrokan, dan hasil negatif. Reformasi; sepuluh tahun reformasi berjalan dengan agenda utama demokratisasi di setiap sistem yang ada mulai dari politik, ekonomi, birokrasi, hukum hingga pers. Negara memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada warga negara untuk berserikat, berorganisasi, menyampaikan pendapat, berkreasi, dan menyampaikan aspirasinya. Kebangkitan nasional; bicara kebangkitan, kita tidak akan terlepas dengan diskursus mengenai development (pertumbuhan), modernisasi, reformasi, dan transformasi. Esensi dari istilah-istilah tersebut adalah perubahan ke arah yang lebih baik dengan perencanaan strategik yang telah dilakukan sebelumnya. Inilah sebenarnya cita-cita founding fathers bangsa Indonesia sewaktu berjuang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dimana Indonesia menjadi sebuah bangsa yang terus maju dan disegani oleh bangsa lain. Namun, apa yang terjadi? Kebangkitan itu statis dan tak kunjung mau bergerak maju. Hampir di semua bidang bangsa kita mengalami resistensi terhadap perubahan, bahkan yang lebih parah adalah kemunduran yang sejatinya berlawanan dengan konsep pertumbuhan dan kebangkitan. Ironi memang, tetapi inilah kenyataannya. Pancasila; kenyataan yang paling parah harus dihadapi oleh pancasila, sebagai dasar negara. Di hari jadinya yang dirayakan pada 1 Juni 2008, pancasila harus bersedih karena ia tidak mampu menjadi teladan, acuan, dan referensi segala perbuatan anak bangsa. Pancasila harus menyaksikan angka kemiskinan structural akibat kapitalisasi perekonomian dan kebijakan tidak pro rakyat miskin menghantam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; Pemerintah dan wakil rakyat yang tidak bijaksana dalam membuat keputusan, dan bahkan menunjukkan contoh tidak baik kepada rakyat dalam pembuatan keputusan dengan cara emosional dan perkelahian, telah melukai sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dan perwakilan; Sila persatuan Indonesia dinodai oleh separatisme dan tawuran antar pelajar, mahasiswa , suku bangsa, hingga tawuran antar elit; Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari harapan ketika kriminalitas semakin meningkat, nyawa sangat murah harganya, pelanggaran HAM menjadi suatu hal yang kebal sentuhan hukum, dan busung lapar hampir terjadi di setiap penjuru negeri; dan yang paling membuat pancasila bersedih adalah ketika ketuhanan yang maha esa dinodai dengan konflik horizontal antar agama dan keyakinan yang diwarnai dengan tindakan terorisme, anarkis, dan kekerasan. Islam dengan Kristen, islam dengan agama lain, dan bahkan yang paling tragisnya adalah antara islam dengan islam.
Melihat realitas tersebut, timbul pertanyaan apakah demokrasi cocok bagi Indonesia? Apakah penerapan demokratisasi selama ini sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi? Apakah perjalanan demokratisasi di Indonesia perlu dikaji ulang atau direvisi? Apa yang perlu dilakukan untuk meluruskan arah demokrasi? Memang perlu kita akui bahwa sejak meninggalkan kediktatoran orde baru dan memasuki era baru yaitu transisi menuju demokrasi di bawah bendera reformasi, bangsa Indonesia telah mengalami perubahan ke arah yang positif. Mulai dari perbaikan ekonomi sehingga menciptakan kestabilan dan membebaskan Indonesia dari masa-masa kritis, kebebasan pers, kebebasan berpendapat, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, hingga netralitas birokrasi. Namun, tren tersebut nampaknya tidak berjalan dengan mulus karena pemerintah tidak selalu memusatkan perhatian dan konsentrasinya, sehingga banyak terjadi penyimpangan dan inkonsistensi. Kemerdekaan dan kebebasan yang menjadi barang langka di masa orde baru menjadi barang yang mudah didapatkan pada masa reformasi. Akan tetapi, kran kebebasan yan telah dibuka sebesar-besarnya membuat airnya melimpah dan hal itu tidak diiringi dengan kontrol dari pemerintah, sehingga kebebasan yang diberikan menjadi boomerang bagi negara. Alhasil, demokrasi yang ada di Indonesia adalah bukannya sekali merdeka tetap merdeka, tetapi “sekali merdeka, merdeka sekali.“ Pebisnis bebas melakukan investasi dan penguasaan faktor produksi dengan capital yang dimilkinya, menghasilkan menjamurnya kapitalisme dan privatisasi tiada henti; seluruh warga negara bebas menyampaikan pendapat, realitasnya pemaksaan pendapat dengan cara kekerasan, perkelahian, tawuran, dan demonstrasi anarkis; kebebasan berserikat dan berkumpul, yang terjadi adalah organisasi yang menghalkan kekerasan dalam setiap aktivitasnya. Inilah potret pelaksanaan demokratisasi di Indonesia sehingga permasalahan bangsa semakin kompleks.
Posisi negara yang dilematis dan serba salah dalam mengeluarkan kebijakan, ditambah lagi tekanan perekonomian yang semakin besar, membuat permasalahan negara semakin sulit untuk diatasi. Namun, rakyat membutuhkan ketegasan dari pemerintah dan pemerintah membutuhkan pengertian dari rakyatnya. Akan tetapi, hal ini tetap saja akan menjadi sesuatu yang utopis apabila akar permasalahannya yaitu pelurusan arah demokrasi tidak menjadi perhatian yang serius dari semua elemen bangsa, baik principal-agent maupun elit-society. Agenda utama dari reformasi ini harus diluruskan agar sinergitas yang diharapkan dari demokrasi bisa memberikan sinyal positif pada reformasi bangsa Indonesia. Konsep kebebasan di dalam demokrasi perlu dikaji ulang, apakah kebebasan sebesar-besarnya tanpa batas atau kebebasan bersyarat berdasarkan aturan hukum; kebebasan investasi dan privatisasi dengan syarat negara masih memiliki saham mayoritas, kebebasan berorganisasi dan berpolitik, dengan syarat mematuhi peraturan dan UU yang ada serta tidak bertentangan dengan idiologi bangsa yakni pancasila, dan kebebasan menyampaikan pendapat, dengan syarat sesuai dengan etika dalam menyampaikan pendapat yakni tidak menyinggung SARA, tidak memotong pembicaraan orang lain, dan tidak memaksakan pendapat apalagi dengan cara kekerasan atau aksi anarkis.
Kebobrokan memang sedang melanda bangsa Indonesia. Namun, jangan jadikan hal itu sebagai hal yang membuat kita pesimis dan antipati terhadap kemampuan negeri ini untuk bangkit. Akan tetapi, dengan semakin banyaknya masalah bangsa ini, seharusnya semakin besar rasa cinta dan nasionalisme kita terhadap bangsa ini. Untuk itu, seluruh elemen masyarakat harus bersatu, mulai dari pemerintah, elit politik, organisasi kemasyarakatan, mahasiswa dan insan akademis, pemuka agama dan tokoh masyarakat, dan society. Mereka harus mempunyai satu visi yaitu mewujudkan Indonesia yang lebih baik, walaupun caranya berbeda-beda asalkan tetap saling menghargai dan sesuai dengan etika, beda pendapat akan semakin mendukung dan menambah variasi perspektif dan frame berfikir terhadap suatu permasalahan, selain itu, hati-hati terhadap provokasi juga harus menjadi langkah preventif yang dapat merusak kesatuan bangsa. Oleh karena itu, meluruskan arah demokrasi adalah menjadi prasyarat utama agar apa yang menjadi cita-cita reformasi, kebangkitan nasional, dan pancasila dapat terwujud.
Melihat realitas tersebut, timbul pertanyaan apakah demokrasi cocok bagi Indonesia? Apakah penerapan demokratisasi selama ini sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi? Apakah perjalanan demokratisasi di Indonesia perlu dikaji ulang atau direvisi? Apa yang perlu dilakukan untuk meluruskan arah demokrasi? Memang perlu kita akui bahwa sejak meninggalkan kediktatoran orde baru dan memasuki era baru yaitu transisi menuju demokrasi di bawah bendera reformasi, bangsa Indonesia telah mengalami perubahan ke arah yang positif. Mulai dari perbaikan ekonomi sehingga menciptakan kestabilan dan membebaskan Indonesia dari masa-masa kritis, kebebasan pers, kebebasan berpendapat, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, hingga netralitas birokrasi. Namun, tren tersebut nampaknya tidak berjalan dengan mulus karena pemerintah tidak selalu memusatkan perhatian dan konsentrasinya, sehingga banyak terjadi penyimpangan dan inkonsistensi. Kemerdekaan dan kebebasan yang menjadi barang langka di masa orde baru menjadi barang yang mudah didapatkan pada masa reformasi. Akan tetapi, kran kebebasan yan telah dibuka sebesar-besarnya membuat airnya melimpah dan hal itu tidak diiringi dengan kontrol dari pemerintah, sehingga kebebasan yang diberikan menjadi boomerang bagi negara. Alhasil, demokrasi yang ada di Indonesia adalah bukannya sekali merdeka tetap merdeka, tetapi “sekali merdeka, merdeka sekali.“ Pebisnis bebas melakukan investasi dan penguasaan faktor produksi dengan capital yang dimilkinya, menghasilkan menjamurnya kapitalisme dan privatisasi tiada henti; seluruh warga negara bebas menyampaikan pendapat, realitasnya pemaksaan pendapat dengan cara kekerasan, perkelahian, tawuran, dan demonstrasi anarkis; kebebasan berserikat dan berkumpul, yang terjadi adalah organisasi yang menghalkan kekerasan dalam setiap aktivitasnya. Inilah potret pelaksanaan demokratisasi di Indonesia sehingga permasalahan bangsa semakin kompleks.
Posisi negara yang dilematis dan serba salah dalam mengeluarkan kebijakan, ditambah lagi tekanan perekonomian yang semakin besar, membuat permasalahan negara semakin sulit untuk diatasi. Namun, rakyat membutuhkan ketegasan dari pemerintah dan pemerintah membutuhkan pengertian dari rakyatnya. Akan tetapi, hal ini tetap saja akan menjadi sesuatu yang utopis apabila akar permasalahannya yaitu pelurusan arah demokrasi tidak menjadi perhatian yang serius dari semua elemen bangsa, baik principal-agent maupun elit-society. Agenda utama dari reformasi ini harus diluruskan agar sinergitas yang diharapkan dari demokrasi bisa memberikan sinyal positif pada reformasi bangsa Indonesia. Konsep kebebasan di dalam demokrasi perlu dikaji ulang, apakah kebebasan sebesar-besarnya tanpa batas atau kebebasan bersyarat berdasarkan aturan hukum; kebebasan investasi dan privatisasi dengan syarat negara masih memiliki saham mayoritas, kebebasan berorganisasi dan berpolitik, dengan syarat mematuhi peraturan dan UU yang ada serta tidak bertentangan dengan idiologi bangsa yakni pancasila, dan kebebasan menyampaikan pendapat, dengan syarat sesuai dengan etika dalam menyampaikan pendapat yakni tidak menyinggung SARA, tidak memotong pembicaraan orang lain, dan tidak memaksakan pendapat apalagi dengan cara kekerasan atau aksi anarkis.
Kebobrokan memang sedang melanda bangsa Indonesia. Namun, jangan jadikan hal itu sebagai hal yang membuat kita pesimis dan antipati terhadap kemampuan negeri ini untuk bangkit. Akan tetapi, dengan semakin banyaknya masalah bangsa ini, seharusnya semakin besar rasa cinta dan nasionalisme kita terhadap bangsa ini. Untuk itu, seluruh elemen masyarakat harus bersatu, mulai dari pemerintah, elit politik, organisasi kemasyarakatan, mahasiswa dan insan akademis, pemuka agama dan tokoh masyarakat, dan society. Mereka harus mempunyai satu visi yaitu mewujudkan Indonesia yang lebih baik, walaupun caranya berbeda-beda asalkan tetap saling menghargai dan sesuai dengan etika, beda pendapat akan semakin mendukung dan menambah variasi perspektif dan frame berfikir terhadap suatu permasalahan, selain itu, hati-hati terhadap provokasi juga harus menjadi langkah preventif yang dapat merusak kesatuan bangsa. Oleh karena itu, meluruskan arah demokrasi adalah menjadi prasyarat utama agar apa yang menjadi cita-cita reformasi, kebangkitan nasional, dan pancasila dapat terwujud.
Salam Persatuan, Hati-Hati Provokasi!
Rendi Pratama
Rendi Pratama
Komentar