Dekonstruksi Ekonomi Kerakyatan Untuk Kepentingan Nasional
Krisis keuangan global Amerika, bermula dari krisis kredit macet perumahan KPR (subprime mortgage) terjadi pada pertengahan Juli 2007, kepada para debitor menengah ke bawah yang hidupnya sangat bergantung kepada pendapatan tetap yang pas-pasan. Ketika inflasi membengkak, mereka tidak lagi mampu membayar bunga dan cicilan pokok. Pemotongan suku bunga secara marathon, peluncuran paket stimulus ekonomi, injeksi likuiditas ke sistem financial merupakan upaya untuk melakukan peredaman dalam rangka mencegah resesi ekonomi AS dan meredam kepanikan pasar financial. Namun, justru krisis tersebut meluas ke sektor perbankan, sektor perekonomian yang dapat berpotensi memicu resesi ekonomi dan krisis financial globhal yang lebih luas.
Kehancuran Wall Street menunjukkan bahwa ekonomi pasar bebas yang dipegang teguh tidak mampu meningkatkan dan mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dan tingkatn kesejahteraan yang sudah dicapai. Kehancuran Wall Street justru bukti dari kegagalan kapitalisme yang telah menjadi paham ekonomi hampir di seluruh belahan dunia.
Namun, seluruh kebijakan peredaman gejolak krisis keuangan global, sebut saja ball out sebesar USD 700 milliar, pemotongan suku bunga secara marathon, peluncuran paket stimulus ekonomi dan injeksi likuiditas sistem financial dan lain-lain merupakan fakta dari ketidakkonsistenan kapitalisme. Atas nama negara, pajak yang dibayar seluruh rakyat Amerika justru digunakan untuk mensubsidi para hedge-fund dan para spekulan yang selama ini hidupnya bergelimang kekayaan.
Keprihatinan pada pasar bebas dan persaingan sempurna menemukan momentumnya ketika beberapa negara di Asia dilanda krisis moneter (1997) dan menjadi bom waktu di tahun 2008. Krisis moneter ini menyadarkan kita dari mimpi Adam Smith bahwa teori pasar bebas berdasar freedom of private inititive dan globalisasi sesungguhnya tidak bekerja untuk menciptakan stabilitas ekonomi global. Sebaliknya, kebijakan globalisasi cenderung menjadi momok bagi negara berkembang. Ideology Laizes faire sedang menampilkan wujud aslinya sebagai incapable market, penuh market failures.
Perekonomian Indonesia tidak bisa dilepaskan dari percaturan ekonomi global. Belum surutnya penanganan dampak krisis moneter 1997-1998 yang pernah menghancurkan perekonomian nasional. Kini krisis keuangan global AS telah merengsek ke senid-sendi perekonomian nasional. Kuatnya arus krisis keuangan global, justru berpengaruh terhadap goyahnya pasar bursa saham nasional yang menjatuhkan nilai bursa perdagangan IHSG mencapai 10,38 % (8/10), menurunkan rupiah mencapai Rp. 10.120/dollar, instabilitas iklim investasi, menurunkan tingkat ekspor, angka pengangguran yang meningkat, daya beli menurun, dll.
Energy nasional saat ini memang tercurahkan untuk mengantisipasi gejolak krisis keuangan global agar tidak meluas ke sektor lain. Berbagai upaya untuk melakukan peredaman, ada 10 langkah pemerintahan, penerbitan Perpu jaminan nasabah bank, kucuran buy back saham BUMN sebesar 4 triliyun merupakan wujud dari kepanikan-kepanikan elit saat ini. Kebijakan-kebijakan tersebut cenderung pragmatis tidak mampu memutus mata rantai agar keluar dari krisis, tetapi justru menjadi bom waktu penderitaan rakyat. Memprioritaskan pada sektor portofolio daripada sektor riil membuktikan bahwa proritas penyelamatan ekonomi nasional memiliki kecenderungan jalan di temapat dan bukan untuk kepantingan rakyat.
Banyak perspektif pendekatan yang berbeda dalam rangka membawa rakyat Indonesia keluar dari jebakan ekonomi neoliberal. Pertama adalah pemerintahan secara gentlemen mengakui ekonomi pasar bebas tidak sesuai dengan kepentingan nasional bangsa. Kedua kebijakannya harus mampu menguatkan industri dalam negeri, artinya bahwa ditengah harga BBM nasional karena BBM merupakan energy penggerak industralisasi nasional.
Seharusnya krisis keuangan global harus dijadikan momentum oleh pemerintahan SBY-Kalla untuk mengintrospeksi semua kebijakan ekonomi neoliberal yang justru merusak sendi-sendi ekonomi rakyat. Ekonomi kerakyatan yang bermodalkan pada prinsip keadilan harus selalu digelorakan menjadi spirit bersama dalam mencari jalan keluar dari krisis ekonomi global. Langkah yang paling kongkret adalah mengembalikan spirit nasionalisasi aset-aset strategis dan perusahaan asing yang tidak memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan rakyat, hampir sepuluh tahun ini telah diobral secara murah kepada pihak asing harus menjadi keniscayaan sejarah bahwa kemandirian dan kedaulatan ekonomi politik rakyat harus menjadi roh perjuangan nasional yaitu pembebasan nasional dalam rangka untuk menggerakkan perekonomian nasional dari gempuran krisis ekonomi global menjadi bukti dari keberpihakan pemerintahan pada kepentingan nasional.
Kehancuran Wall Street menunjukkan bahwa ekonomi pasar bebas yang dipegang teguh tidak mampu meningkatkan dan mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dan tingkatn kesejahteraan yang sudah dicapai. Kehancuran Wall Street justru bukti dari kegagalan kapitalisme yang telah menjadi paham ekonomi hampir di seluruh belahan dunia.
Namun, seluruh kebijakan peredaman gejolak krisis keuangan global, sebut saja ball out sebesar USD 700 milliar, pemotongan suku bunga secara marathon, peluncuran paket stimulus ekonomi dan injeksi likuiditas sistem financial dan lain-lain merupakan fakta dari ketidakkonsistenan kapitalisme. Atas nama negara, pajak yang dibayar seluruh rakyat Amerika justru digunakan untuk mensubsidi para hedge-fund dan para spekulan yang selama ini hidupnya bergelimang kekayaan.
Keprihatinan pada pasar bebas dan persaingan sempurna menemukan momentumnya ketika beberapa negara di Asia dilanda krisis moneter (1997) dan menjadi bom waktu di tahun 2008. Krisis moneter ini menyadarkan kita dari mimpi Adam Smith bahwa teori pasar bebas berdasar freedom of private inititive dan globalisasi sesungguhnya tidak bekerja untuk menciptakan stabilitas ekonomi global. Sebaliknya, kebijakan globalisasi cenderung menjadi momok bagi negara berkembang. Ideology Laizes faire sedang menampilkan wujud aslinya sebagai incapable market, penuh market failures.
Perekonomian Indonesia tidak bisa dilepaskan dari percaturan ekonomi global. Belum surutnya penanganan dampak krisis moneter 1997-1998 yang pernah menghancurkan perekonomian nasional. Kini krisis keuangan global AS telah merengsek ke senid-sendi perekonomian nasional. Kuatnya arus krisis keuangan global, justru berpengaruh terhadap goyahnya pasar bursa saham nasional yang menjatuhkan nilai bursa perdagangan IHSG mencapai 10,38 % (8/10), menurunkan rupiah mencapai Rp. 10.120/dollar, instabilitas iklim investasi, menurunkan tingkat ekspor, angka pengangguran yang meningkat, daya beli menurun, dll.
Energy nasional saat ini memang tercurahkan untuk mengantisipasi gejolak krisis keuangan global agar tidak meluas ke sektor lain. Berbagai upaya untuk melakukan peredaman, ada 10 langkah pemerintahan, penerbitan Perpu jaminan nasabah bank, kucuran buy back saham BUMN sebesar 4 triliyun merupakan wujud dari kepanikan-kepanikan elit saat ini. Kebijakan-kebijakan tersebut cenderung pragmatis tidak mampu memutus mata rantai agar keluar dari krisis, tetapi justru menjadi bom waktu penderitaan rakyat. Memprioritaskan pada sektor portofolio daripada sektor riil membuktikan bahwa proritas penyelamatan ekonomi nasional memiliki kecenderungan jalan di temapat dan bukan untuk kepantingan rakyat.
Banyak perspektif pendekatan yang berbeda dalam rangka membawa rakyat Indonesia keluar dari jebakan ekonomi neoliberal. Pertama adalah pemerintahan secara gentlemen mengakui ekonomi pasar bebas tidak sesuai dengan kepentingan nasional bangsa. Kedua kebijakannya harus mampu menguatkan industri dalam negeri, artinya bahwa ditengah harga BBM nasional karena BBM merupakan energy penggerak industralisasi nasional.
Seharusnya krisis keuangan global harus dijadikan momentum oleh pemerintahan SBY-Kalla untuk mengintrospeksi semua kebijakan ekonomi neoliberal yang justru merusak sendi-sendi ekonomi rakyat. Ekonomi kerakyatan yang bermodalkan pada prinsip keadilan harus selalu digelorakan menjadi spirit bersama dalam mencari jalan keluar dari krisis ekonomi global. Langkah yang paling kongkret adalah mengembalikan spirit nasionalisasi aset-aset strategis dan perusahaan asing yang tidak memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan rakyat, hampir sepuluh tahun ini telah diobral secara murah kepada pihak asing harus menjadi keniscayaan sejarah bahwa kemandirian dan kedaulatan ekonomi politik rakyat harus menjadi roh perjuangan nasional yaitu pembebasan nasional dalam rangka untuk menggerakkan perekonomian nasional dari gempuran krisis ekonomi global menjadi bukti dari keberpihakan pemerintahan pada kepentingan nasional.
Save Our Economics From Neo-Liberalism
Komentar