apakah UU pornografi sia-sia?

Masalah pornografi selalu menghadirkan pro dan kontra dan perdebatan yang alot, hal itu dimulai semenjak tahun 1997, wacana terus berkembang dan sepanjang perjalanannya mengalami pasang surut, baru pada tiga tahun terakhir ini, masalah tersebut menjadi publik problem dan bahkan menjadi policy problem dan akhirnya lewat mekanisme politik yang panjang, berliku, kompleks, dan melelahkan masalah pornografi ditetapkan menjadi sebuah undang-undang. Tetapi apakah perdebatan sudah selesai dan UU itu merupakan sintesis yang bisa diterima semua pihak? Ternyata tidak, sintesis itu berubah menjadi tesis aksen dan kembali berhadapan dengan antithesis, dimana pihak yang masih kontra dan tidak puas dengan UU ini mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.



Melihat fenomena ini, saya sebagai rakyat Indonesia merasa bangga karena Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup baik dalam proses demokratisasi serta menerapkan kaedah-kaedah hukum berfikir dialektis yang membahas suatu fenomena secara komprehensif melalui berbagai sisi, sudut pandang, dan multidisiplin ilmu. Namun, kebanggaan ini akan luntur ketika faktor kepentingan pribadi maupun kelompok telah mendominasi atas ketulusan untuk mencapai kebaikan dan kepentingan bersama. Apapun itu, kepentingan artis, pengusaha, pejabat, partai politik, bahkan kepentingan agama/ etnis tertentu, saya tidak pernah bersepakat dengan hal itu jika dominasi kepentingan tertentu melebihi tujuan UU itu dalam mencapai kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.



Sekarang pornografi telah disahkan menjadi UU dan berarti proses dari kebijakan publik akan berlanjut pada tahap sosialisasi, implementasi, dan evaluasi. Namun, suara yang menentang UU ini masih ada, dan mereka tetap
menyuarakan bahwa UU pornografi sia-sia, hanya menghabiskan anggaran negara karena sudah banyak UU maupun peraturan informal yang mengatur mengenai pornografi seperti UU perlindungan anak, KUHP, UU penyiaran, moral, etika, dan agama dll. Belum lagi, pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, berpakaian, kesenian/ adat tradisional, hak-hak wanita dan anak tetap menjadi senjata klasik. Dan yang terakhir, ada yang mempersoalkan mengenai defenisi pornografi yang tercantum pada pasal 1 ketentuan umum tentang gerak tubuh, yang sejatinya dinilai sebagai porno aksi. Singkatnya, yang menjadi pertanyaan sekarang apakah UU pornografi merugikan hak privasi seorang manusia, bermanfaat, mengandung kepastian hukum atau tidak?



Mari kita bahas dan analisa melalui tabel perbandingan antara pihak yang pro dan kontra UU Pornogafi:






















Pro



Kontra



UU
pornografi memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia dengan
memberikan kepastian hukum, dan perlindungan kepada masyarakat
Indonesia dari pornografi, terutama wanita dan anak-anak. Anggaran
yang diperuntukkan negara kepada kepentingan rakyatnya sudah
sewajarnya karena rakyat adalah pembayar pajak, pemilih dalam
pemilu, dll



UU
pornografi adalah suatu tindakan sia-sia karena telah banyak UU
dan peraturan informal yang mengatur pornografi. Jadi UU ini tidak
diperlukan, menghabiskan anggaran; masih banyak pekerjaan negara
yang lebih penting, dan tidak memberikan manfaat apapun bagi
masyarakat, bahkan melanggar hak dasar manusia untuk berekspresi.



UU
pornografi tidak melanggar privasi dan cara berpakaian manusia.
Akan tetapi, yang diatur adalah tata cara berpakaian dan
berekspresi yang tidak sesuai konteks melalui media komunikasi
yang menimbulkan hasrat seksual, kriminalitas, dan keresahan
masyarakat. Ini sudah tidak berada dalam wilayah pribadi lagi
tetapi sudah masuk dalam wilayah publik. Dan negara harus
mengaturnya melalui kebijakan publik.



UU
pornografi melanggar hak manusia untuk berekspresi, berpakaian,
dan sudah masuk ke dalam wilayah pribadi manusia.



UU
ini memberikan hak pengecualian kepada masyarakat adat/ seni untuk
berekspresi sebagaimana diatur dalam pasal 14. Jadi, hak-hak adat
dan masyarakat adat maupun pelaku seni dan budaya tidak akan
dilanggar oleh UU ini.



UU
ini melanggar hak-hak masyarakat adat/seni karena dengan UU ini
maka kesenian tradisional/modern yang kerap kali hadir dengan
busana dan tampilan yang mengandung unsur pornografi seperti yang
terjadi di Bali, papua, dll menjadi korban dan dirugikan



Negara
sepakat dengan hal itu, tetapi apabila kesemuanya itu dilakukan
dengan tidak semestinya, melakukan penyimpangan, menimbulkan
tindakan kriminalitas, menimbulkan konflik, dan meresahkan
masyarakat, maka Indonesia sebagai negara hukum, harus melahirkan
sebuah peraturan dan kebijakan untuk menerapkan hukum tersebut.
Hukum tidak akan jalan tanpa UU dan kepastian hukum.



Moral
dan perilaku , termasuk sex dan pornografi adalah wilayah pribadi,
negara tidak bisa ikut campur



Hukum
tidak akan jalan tanpa UU dan kepastian hukum. UU dibuat sesuai
kebutuhan, apabila ada UU atau peraturan yang mirip, itu hanya
bersifat sebagai pelengkap karena pembahasan yang lebih
komprehensif terletak pada UU yang bersangkutan, asalkan tidak
terjadi tumpang tindih ini tidak akan menjadi persoalan. Untuk
masalah implementasi terkait dengan komitmen pemerintah sebagai
pelaksana kebijakan. Apabila komitmennya kuat dan melibatkan
segenap elemen masyarakat, maka hukum akan dapat ditegakkan.



Indonesia
adalah negara hukum, bukan negara UU. Terlalu banyak UU, namun
implementasinya tidak jalan, adalah suatu hal yang sia-sia.



Negara
melalui UU ini tidak mengatur perilaku/moral seseorang, apalagi
melanggar hak ibu atas anaknya. Negara malahan membantu para ibu
mengontorl perilaku anak-anaknya dengan langkah preventif yang
diatur dalam UU ini sehingga ia tidak terjebak dengan pornografi.



Ibu
rumah tangga merasa haknya dalam mengatur perilaku anaknya diatur
oleh negara




Komparasi tersebut cukup memberikan informasi kepada kita bahwa Permasalahan pornografi sebelum ditetapkan menjadi UU telah melalui proses yang panjang. Mulai dari individual problem, public problem, dan policy problem. Pro dan kontra yang digambarkan di atas telah dibahas melalui mekanisme politik. Secara ekonomi politik, tawar menawar kepentingan juga telah terjadi dalam pembahasan tersebut. Pada akhirnya proses yang panjang tersebut menghasilkan output berupa UU Pornografi. Menurut saya, lahirnya UU tersebut cukup untuk menjawab pertanyaan di atas. UU ini tidak melanggar hak privasi manusia, hak/ kebebasan bereksprsesi, hak seniman/masyarakat adat. UU ini malah melindungi, bersifat preventif, memberikan manfaat, dan memberikan kepastian hukum kepada seluruh rakyat Indonesia. Kalaupun ada beberapa pihak yang merasa tidak puas dan merasa kepentingannya tidak terakomodir di dalam UU tersebut adalah suatu kewajaran karena sifat dari suatu kebijakan publik adalah tidak bisa mencapai suatu kesempurnaan dan tidak bisa mengakomodir seluruh kepentingan rakyat Indonesia. Walaupun demikian, bukan berarti segala hal yang menyimpang dan inkonstiotusional dari UU tersebut dibiarkan begitu saja, masyarkat yang merasa there is something wrong dengan UU tersebut berhak untuk mengajukan judicial review. Sebagai rakyat Indonesia seharusnya kita patut bersyukur dengan sistem kebijakan yang ada di negeri ini karena memberikan ruang demokratis untuk kita memperjuangkan apa yang tidak sesuai dengan kepentingan kita dan kepentingan rakyat Indonesia secara keseluruhan, tentunya tanpa menafikan sikap kritis masyarakat terhadap sistem kebijakan yang ada di Indonesia. Jadi, apakah UU ini tidak merupakan sesuatu yang mubazir, sia-sia, dan hanya menghabiskan anggaran negara? Pertanyaannya bisa kita jawab ketika kebijakan ini telah diimplementasikan dan dievaluasi. Indikator keberhasilannya bisa kita lihat dari tercapai atau tidaknya tujuan UU ini, berkurang atau tidaknya angka kejahatan yang disebabkan oleh hasrat seksual, dan meningkat atau tidaknya moral anak bangsa.



Written by



Rendi Pratama







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Primordialisme dan Nasionalisme

Revolusi VS Reformasi

Peluang di Tengah Ketidakpastian